Aku sudah lama mengenalnya. Ia rekan sejawatku. Tetapi, percayakah engkau bahwa sampai saat ini aku sendiri tidak tahu, apakah giginya sudah tumbuh atau tidak? Ia selalu diam tak berekspresi. jika senyum, usianya seperti berkurang, atau hartanya bisa hilang.
Jarir ibn 'Abdullah al-Bajali berkata, “Setiap kali Rasulullah bertemu denganku, beliau selalu tersenyum kepadaku.”
Selain bermacam-macam, senyum itu juga memiliki beberapa tingkatan. Ada yang menandakan senantiasa ceria. Demikian ini ditandai dengan raut wajahmu yang selalu berseri-seri. Nah, jika engkau seorang guru, ketika bertatap muka dengan murid, pasanglah wajah berseri. Atau, saat engkau naik pesawat terbang dan berjalan di antara tempat duduk orang lain, lemparkanlah keceriaan. Ketika engkau masuk warung atau bank dan menyodorkan uang, untailah senyum. Manakala engkau di forum, tiba-tiba seseorang masuk dan mengucapkan salam dengan suara tinggi sambil menyapukan pandangannya kepada hadirin, tersenyumlah.
Secara umum, senyum sangat berpengaruh untuk meredam amarah, keraguan, dan kebimbangan. Seorang jagoan adalah yang mampu menguasai perasaannya dan tersenyum dalam keadaan terpahit sekalipun.
Suatu hari Anas ibn Malik berjalan bersama Rasulullah saw. Kebetulan Rasulullah saat itu mengenakan baju burd najraniyang bagian pinggirnya keras. Tiba-tiba salah seorang Arab pedalaman mengejar mereka. Setelah dekat, orang itu menarik pakaian Nabi dengan keras, sampai bergerak kasar di bagian leher beliau.
Anas berkata, “Karena teramat keras, aku sampai melihat bekas tarikan di bahu Rasulullah.”
Apa sebenarnya yang diinginkan orang ini?!
Apakah rumahnya kebakaran dan menginginkan bala bantuan?!
Ataukah ia dikejar-kejar orang musyrik dan meminta pertolongan?!
Dengarkan apa yang ia inginkan.
Ia berkata, “Wahai Muhammad! (Perhatikan, ia tidak memanggil, 'Wahai Rasulullah.').”
Ia berkata, “Wahai Muhammad, perintahkan kepadaku terhadap harta yang Allah titipkan kepadamu.”
Rasulullah saw. menoleh, kemudian tertawa. Setelah itu, beliau perintahkan orang itu diberi sesuatu.
Ya, Rasulullah tak mudah terprovokasi oleh keadaan seperti ini. Beliau tidak ringan tangan dalam menghukum dan bersitegang untuk urusan sepele. Beliau berlapang dada dan kuat mengontrol emosi. Simpul senyum selalu beliau suguhkan, dalam keadaan terpahit sekalipun. Sebelum melakukan sesuatu, beliau selalu pikirkan dampak dan akibatnya. Beliau sadar betul bahwa berteriak atau mengusir orang itu tiada guna.
Apakah dengan begitu luka di leher beliau kemudian jadi sembuh?! Apakah orang itu kemudian akan berubah jadi santun?! Tentu tidak. Jadi, tidak ada pilihan lain, selain sabar dan tabah.
Memang, ada beberapa hal yang membuat kita berontak dan marah. Memperbaikinya jelas sesuatu yang sama sekali berbeda. Kita harus memperbaikinya dengan ramah, lembut, senyum, berbaik sangka, menahan marah, dan memikat hati orang lain.
Benar sabda Rasulullah saw., “Orang yang kuat bukanlah yang bisa berkelahi, melainkan yang mampu menguasai diri ketika marah.”
Rasulullah yang mulia memikat hati orang lain dengan senyum dan wajah ceria.
Suatu ketika umat Islam keluar untuk berperang di Khaybar. Di tengah-tengah peperangan, dari benteng orang Yahudi didapat ransel yang dipenuhi lemak. Diambillah ransel itu oleh 'Abdullah ibn Mughfil r.a., kemudian dipanggul dengan riang gembira menuju para sahabatnya.
Saat itu, ia dijumpai orang yang bertanggung jawab atas pengumpulan dan distribusi harta rampasan perang. Ditariklah ransel itu kepadanya sembari berkata, “Berikan ransel ini untuk kita bagi pada semua umat Islam.”
'Abdullah memegang kuat dan berkata, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan memberikannya kepadamu. Sebab, akulah yang mendapatkannya.”
“O ya..?!” Mereka pun saling tarik-menarik ransel itu.
Ketika lewat di tempat itu, Rasulullah saw. menyaksikan mereka berdua saling tarik-menarik ransel tersebut. Beliau tersenyum dan tertawa, kemudian bersabda kepada penanggung jawab harta rampasan perang, “Sudahlah, biarkan dia.” Akhirnya, orang itu membiarkan ransel itu dikuasai Abdu Allah.
'Abdullah membawa ransel itu menemui teman-temannya, lalu mereka makan bersama-sama.
Akhirnya, senyummu pada saudaramu adalah sedekah.
Oleh: Dr. Muhammad Al-Arifi
Dalam buku: Nikmati Hidupmu